PENDIDIKAN MULTIKULTURAL
Oleh : PROF.DR.H.M.SATTU
ALANG, M.A.
(Disampaikan Pada Diklat Teknis Fungsional
Peningkatan Kompetensi Guru Pertama Mata Pelajaran Bahasa Arab Madrasah Ibtidaiyah Wilayah
Kerja Balai Diklat Keagamaan Makassar)
Pendidikan
Multikultural (multicultural education), merupakan strategi pendidikan yang
memanfaatkan keragaman latar belakang
kebudayaan dari para peserta didik sebagai salah satu kekuatan untuk membentuk sikap multicultural. Strategi ini sangat bermanfaat;
sekurang-kurangnya dari sekolah sebagai lembaga pendidikan, dapat terbentuk
pemahaman bersama atas konsep kebudayaan, keseimbangan, dan demokrasi dalam
artian luas.
Multikulturalisme adalah konsep yang
menjelasskan dua perbedaan dengan makna yang saling berkaitan.
(1)
Multikulturalisme sebagai kondisi kemajemukan kebudayaan atau pluralism budaya
dari masyarakat. Kondisi ini diasumsikan dapat membentuk sikap toleransi.
(2)
Multikulturalisme merupakan seperangkat kebijakan pemerintah pusat yang
dirancang sedemikian rupa agar seluruh
masyarakat dapat memberikan perhatian kebudayaan dari semua kelompok etnik atau suku bangsa.
Hal ini beralasan karena bagaimanapun juga, semua kelompok etnik atau suku dan
bangsa telah memberi kontribusi .
Fungsi Pendidikan Multikultural
1.
Memberi
konsep diri yang jelas.
2.
Membantu
memahami pengalaman kelompok etnis dan budaya ditinjau dari sejarahnya.
3.
Membantu
memahami bahwa konflik antara ideal dan realitas itu memang ada pada setiap
massyarakat.
4.
Membantu
mengembangkan pembuatan keputusan (decision making), partisipasi social dan
keterampilan dan keterampilan kewarganegaraan (citizenship skills).
5.
Mengenal
keberagaman daalam penggunaan bahasa.
Pentingnya
Pendidikan Multikultural dalam Pembelajaran: Pembelajaran multicultural bias
menanamkan sekaligus mengubah pemikiran peserta didik untuk benar-benar tulus
menghargai keberagaman etnis, agama, ras dan antar golongan. Rasional tentang
pentingnya pembelajaran/pendidikan multicultural, karena strategi pendidikan
ini dipandang memiliki keutamaan-keutamaan, terutama dalam:
Selain itu pendidikan multikultural memberikan
tekanan bahwa sekolah pada dasarnya berfungsi mendasari perubahan masyarakat
dan meniadakan penindasan dan ketidak adilan. Jalan diatas dapat dirinci
menjadi 3 butir perubahan yaitu:
1.
Perubahan diri
2.
Perubahan sekolah dan persekolahan
3.
Perubahan masyarakat
Perubahan diri dimaknai sebagai perubahan yang
dimulai dari diri siswa sendiri yang lebih menghargai orang lain agar bisa
hidup damai dengan sekelilingnya. Kemudian diwujudkan dalam tata tutur dan tata
prilakunya di lingkungan sekolah dan berlanjut hingga masyarakat. Karena
sekolah merupakan agen perubahan maka diharapkan ada perubahan yang dapat
terjadi di masyarakat, seiring dengan terjadinya perubahan yang terjadi di
lingkungan sekolah. Ketiga perubahan tersebut sangat berkaitan agar siswa
nantinya dapat tumbuh menjadi manusia yang mampu menghadapi berbagai pluralisme
budaya.
Konsep Dasar Pendidikan Multikultural
Terjadinya konflik yang benuansa SARA pada
beberapa daerah di Indonesia, dari banyak studi yang dilakukan salah satu
penyebabnya adalah, akibat dari lemahnya pemahaman dan pemaknaan tentang konsep
kearipan budaya. Konflik akan muncul
apabila tidak ada distribusi nilai yang adil kepada masyarakat. Terdapat
perbedaan ras pada masyarakat menjadi penanda awal yang secara budaya sudah
dilabelkan hambatan-hambatannya, yakni prasangka rasial. Prasangka rasial ini
sangat sensitif karena melibatkan sikap seseorang ataupun kelompok ras tertentu
terhadap ras lain.
Sekitar
200 juta penduduk yang tersebar kurang lebih dari 13.000 pulau. Wilayah
Indonesia tersusun atas 33 propinsi, 440
kabupaten/kota, 5.263 kecamatan, serta 62.806 desa. Terdapat puluhan
suku bangsa dengan adat istiadat yang berbeda, dan lebih dari 660 bahasa daerah
yang digunakan oleh penduduk Indonesia. Sejumlah 293.419 satuan pendidikan
(SD/MI, SMP/MTs,SMA/MA) di Indonesia tersebar di berbagai wilayah, total 51,3
juta siswa dan 3,31 juta guru. Disadari bahwa untuk membangun bangsa dengan
beragam adat dan budaya yang tersebar di wilayah yang sangat luas dan
terpencar, diperlukan suatu strategi dan upaya yang sistematis untuk
melakukannya.
Urgensi Pendidikan Multikultural dalam
Pembelajaran Madrasah
Dengan pembelajaran mutikultural para siswa dan
lulusan madrasah akan dapat memiliki sikap kemandirian dalam menyadari dan
menyelesaikan segala problem kehidupannya, melalui berbagai macam cara dan
strategi pendidikan serta mengimplementasikanya yang mempunyai visi dan misi
yang selalu menegakkan dan menghargai pluralisme, demokrasi dan humanisme.
Diharapkan para generasi penerus menjadi ”Generasi Multikultural” yang
menghargai perbedaan, selalu menegakan nilai-nilai demokrasi, keadilan dan
kemanusiaan yang akan datang.
Pembelajaran multikultural bisa menanamkan
sekaligus mengubah pemikiran peserta didik untuk benar-benar tulus menghargai
keberagaman etnis, agama, ras, dan antargolongan. Rasional tentang pentingnya
pembelajaran/pendidikan multikultural, karena startegi pendidikan ini dipandang
memiliki keutamaan-keutamaan, terutama dalam:
1). Memberikan terobosan baru pembelajaran yang
mampu meningkatkan empati dan mengurangi prasangka siswa atau mahasiswa
sehingga tercipta manusia (warga negara) antarbudaya yang mampu menyelesaikan
konflik dengan tanpa kekerasan (nonviolent);
2). Menerapkan pendekatan dan strategi pembelajaran
yang potensial dalam mengedepankan proses interaksi sosial dan memiliki
kandungan afeksi yang kuat.
3).
Model pembelajaran multikultural membantu guru dalam mengelola proses
pembelajaran menjadi lebih efisien dan efektif, terutama memberikan kemampuan
peserta didik dalam membangun kolaboratif dan memiliki komitmen nilai yang
tinggi dalam kehidupan masyarakat yang serba majemuk; 4). Memberikan kontribusi
bagi bangsa Indonesia dalam penyelesaian dan mengelola konflik yang bernuansa
SARA yang timbul di masyarakat dengan cara meningkatkan empati dan mengurangi
prasangka
Manfaat Pembelajaran Multikultural,
antara lain:
- Penerapan
pendidikan multikultural sangat penting untuk meminimalisasi dan mencegah
terjadinya konflik di beberapa daerah. Melalui pendidikan berbasis
multikultural, sikap dan mindset (pemikiran) siswa akan lebih terbuka
untuk memahami dan menghargai keberagaman.
- .
Metodologi dan strategi pembelajaran multikultural dengan menggunakan
sarana audio visual telah cukup menarik minat belajar anak serta sangat
menyenangkan bagi siswa dan guru. Karena, siswa secara sekaligus dapat
mendengar, melihat, dan melakukan praktik selama proses pembelajaran
berlangsung. Hal ini menjelaskan bahwa pembelajaran multikultural sangat
baik untuk diterapkan dalam rangka meningkatkan minat belajar siswa yang
lebih tinggi
- Guru-guru dituntut kreatif dan inovatif
sehingga mampu mengolah dan menciptakan desain pembelajaran yang sesuai.
Termasuk memberikan dan membangkitkan motivasi belajar siswa, serta memperkenalkan
dan mengembangkan nilai-nilai dan sikap toleransi, solidaritas, empati,
musyawarah, dan egaliter kepada sesama. Para siswa pun bisa menjadi lebih
memahami kearifan lokal yang menjadi bagian dari budaya bangsa.
- 4.
Pendidikan multikultural membantu siswa untuk mengakui ketepatan dari
pandangan-pandangan budaya yang beragam, membantu siswa dalam
mengembangkan kebanggaan terhadap warisan budaya mereka, menyadarkan siswa
bahwa konflik nilai sering menjadi penyebab konflik antar kelompok
masyarakat .(Savage & Armstrong, 1996)
- Pendidikan
multikultural diselenggarakan dalam upaya mengembangkan kemampuan siswa
dalam memandang kehidupan dari berbagai perspektif budaya yang berbeda
dengan budaya yang mereka miliki, dan bersikap positif terhadap perbedaan
budaya, ras, dan etnis. (Farris & Cooper, 1994).
- 6. Dapat membimbing, membentuk dan
mengkondisikan siswa agar memiliki mental atau karakteristik terbiasa
hidup di tengah-tengah perbedaan yang sangat kompleks, baik perbedaan
ideologi, perbedaan sosial, perbedaan ekonomi dan perbedaan agama. Dengan
pembelajaran mutikultural para lulusan akan dapat memiliki sikap
kemandirian dalam menyadari dan menyelesaikan segala problem kehidupannya.
Keuntungan dengan Pendekatan Pendidikan
Multikultural
Pertama, kita tidak lagi terbatas dengan
pandangan yang menyamakan pendidikan (education) dengan persekolahan
(schooling) atau pendidikan multicultural dengan program-program sekolah
formal. Pandangan yang lebih luas mengenai pendidikan sebagai transmisi
kebudaayan akan membebaskan pendidikan dari asumsi mereka bahwa tanggungjawab
primer mengembangkan kompetensi kebudayaan dikalangan anak didik semata-mata
berada ditangan mereka, melainkan tanggungjawab semua pihak karena
program-program sekolah seharusnya terkait dengan pembelajaran informal dan
luar sekolah.
Kedua, kita tidak lagi terbatas pada pandangan
yang menyamakan kebudayaan dengan kelompok etnik. Artinya, kita tidak perlu
mengasosiasikan kebudayaan sematamata dengan kelompok-kelompok etnik. Secara
tradisional, para pendidik mengasosiasikan kebudayaan hanya dengan
kelompok-kelompok sosial yang relatif self sufficient. Oleh karena
individu-individu atau peserta didk memiliki berbagai tingkat kompetensi dalam
berbagai dialek atau bahasa, dan berbagai pemahaman mengenai situasi-situasi
dimana setiap pemahaman tersebut sesuai, maka individu-individu memilki
berbagai tingkat kompetensi dalam sejumlah kebudayaan. Dalam konteks pendidikan
multicultural, apabila pendekatan ini dipahami dan diadopsi oleh para penyusun
program-program pendidikan multicultural, akan melenyapkan kecenderungan
memandang anak didik secara stereotype menurut identitas etnik mereka akan
meningkatkan eksplorasi pemahaman yang lebih besar mengenai kesamaan dan
perbedaan dikalangan anak didik dari berbagai kelompok etnik.
Ketiga, karena
pengembangan kompetensi dalam suatu kebudayaan baru biasanya membutuhkan
interaksi intensif dengan orang-orang yang sudah memiliki kompetensi, kita
bahkan dapat melihat lebih jelas bahwa upaya-upaya untuk mendukung sekolah-sekolah
yang terpisah secara etnik adalah antitesis terhadap tujuan pendidikan
multicultural. Mempertahankan dan memperluas solidaritas kelompok etnik adalah
menghambat sosialisasi ke dalam kebudayaan baru. Pendidikan bagi pluralisme
budaya dan pendidikan multicultural tidak dapat disamakan secara logis.
Keempat,
pendidikan multikultural meningkatkan kompetensi dalam beberapa kebudayaan.
Kebudayaan mana yang akan diadopsi seseorang pada suatu waktu ditentukan oleh
situasinya. Meski jelas berkaitan, kita harus membedakan secara konseptual
antara identitas-identitas yang disandang individu dan identitas sosial primer
dalam kelompok etnik tertentu.
Kelima, kemungkinan bahwa pendidikan (baik di sekolah
maupun di luar sekolah) meningkatkan kesadaran mengenai kompetensi dalam
beberapa kebudayaan akan menjauhkan kita dar konsep dwi-budaya (bicultural)
atau dikotomi antara pribumi dan non-pribumi. Karena dikotomi semacam ini
bersifat membatasi kebebasan individu untuk sepenuhnya mengekspresikan
diversitas (perbedaan) kebudayan.Pendidikan multikultural bertujuan untuk
mendedahkan kesadaran akan “multikulturalisme sebagai pengalaman normal
manusia”. Kesadaran ini mengandung potensi pendidikan multikultural untuk
menghindari dikotomi dan mengembangkan apresiasi yang lebih baik melalui
kompetensi kebudayaan yang ada pada anak didik.
Implementasi Pendidikan Multikultural dalam
Proses Pendidikan
Dengan pengembangan model pendidikan berbasis
multicultural, diharapkan mampu menjadi salah satu metode efektif meredam konflik.
Selain itu, pendidikan multikultural bisa menanamkan sekaligus mengubah
pemikiran peserta didik untuk benar-benar tulus menghargai keberagaman etnis,
agama, ras, dan antargolongan. Tak hanya itu, pendidikan multikultural juga
mencakup revisi materi-materi dan sistem pembelajaran, seleksi penerimaan
siswa, rekrutmen guru, termasuk revisi buku-buku dan teks-teks soal Ujian
Nasional (UN).
Misalnya, pelaksanaan UN selama ini terus
menjadi perdebatan dan menimbulkan pro-kontra, sejak keluarnya SK No 153/U/2003
tentang UAN. Mulai teknis pelaksanaan hingga keputusan pemerintah tentang
pelulusan terhadap siswa. Secara yuridis, pelanggaran terhadap UU No. 20 tahun
2003. Pada pasal 58 ayat (1), misalnya, semestinya UAN menjadi tolok ukur,
kontrol, alat evaluasi tingkat kemampuan peserta didik dan penyerapan terhadap
materi. UU lahir, oleh pemerintah malah dibelokkan menjadi alat untuk
menentukan tingkat kelulusan siswa. Secara tidak langsung pemerintah masih
berkeinginan menyeratakan dan tidak mendukung adanya paradigma atau pijakan
pendidikan multikultural.
Dalam konteks Indonesia, pendidikan
multikultural menemukan momentumnya ketika rezim pemerintahan Soeharto yang
otoritarian tumbang. Di masa awal reformasi, berbagai konflik antar etnik dan
golongan menciptakan kejutan dan kengerian masyarakat, secara umum. Konflik
berdarah di Poso, Sampit, hingga Papua merupakan catatan buram sejarah
Indonesia. Hal ini membuat kalangan intelektual pendidikan di Indonesia
mempertanyakan kembali sistem pendidikan nasional bagi Indonesia Perlukah ada
perubahan? Atau sistem pendidikan yang bagaimana yang bisa meminimalisasi
potensi konflik.
Parsudi
Suparlan (2001) mengatakan bahwa multikulturalisme adalah konsep yang mampu
menjawab tantangan perubahan zaman karena multikulturalisme adalah sebuah
ideologi yang mengagungkan perbedaaan kultur, atau sebuah keyakinan yang
mengakui pluralisme kultur sebagai corak kehidupan masyarakat.
Multikulturalisme akan menjadi jembatan yang mengakomodasi perbedaan etnik dan
budaya dalam masyarakat yang plural. Perbedaan itu dapat terakomodasi dalam
berbagai dimensi kehidupan, seperti dunia kerja, pasar, hukum, ekonomi, sosial,
dan politik.
Kurikulum Pendidikan Multikultural
Agar pendidikan lebih multikultural, maka
kurikulum, model pembelajaran, suasana sekolah, kegiatan ekstrakurikuler, dan
peran guru harus dibuat multikultural. Isi, pendekatan, dan evaluasi kurikulum
harus menghargai perbedaan dan tidak diskriminatif. Isi dan bahan ajar di
sekolah perlu dipilih yang sungguh menekankan pengenalan dan penghargaan
terhadap budaya dan nilai lain. Suasana sekolah amat penting dalam penanaman
nilai multibudaya. Sekolah harus dibangun dengan suasana yang menunjang
penghargaan budaya lain. Relasi guru, karyawan, siswa yang berbeda budaya
diatur dengan baik, ada saling penghargaan. Anak dari kelompok lain tidak
ditolak tetapi dihargai.
Kegiatan ekstrakurikuler hendaknya juga
multinilai. Sikap menghargai orang yang berbeda dari budaya lain akan lebih
berkembang bila siswa mempraktikkan dan mengalami sendiri. Maka, model live-in,
tinggal di tengah orang yang berbudaya lain, amat dapat membantu siswa
menghargai "budaya lain". Misalnya siswa dari Bali ikut live-in satu
minggu di tengah orang Sunda. Bila mereka mengalami bahwa di situ diterima
dengan baik, mereka akan dibantu lebih penghargai budaya Sunda. Proyek dan
kepanitiaan di sekolah baik juga diatur dengan lebih variasi dan beragam.
Setiap panitia terdiri dari aneka macam siswa dari berbagai suku, ras, agama,
budaya, dan jender. Ini akan lebih menumbuhkan semangat kesatuan dalam
perbedaan yang ada.
Kurikulum yang diperlukan dalam pendidikan
multicultural mempunyai tiga komponen utama; yaitu isi, metode, dan manusia.
Isi mencakup ilmu pengetahuan, teori, konsep, fakta, kontribusi, dan perspektif
dari kelompok yang berbeda suku, etnisitas, gender, bahasa, kelas sosial,
agama, orientasi seksual, cacat dan tidak cacat, kepercayaan politik dan
sebagainya yang secara historis tidak terpresentasikan dalam ranah pendidikan.Metode,
mencakup strategi pembelajaran yang mengakomodasi gaya pengajaran dan
pembelajaran yang berbeda, kebijakan-kebijakan akademik yang mendukung
rekrutmen, mentoring, memori siswa multikultural, pengajar, populasi staff, dan
proses kurikulum yang mendorong eksplorasi, pengembangan, dan implementasi
kurikulum multikultural. Manusia,
menyangkut sisiwa multikultural, pengajar, dan populasi staff yang mendukung
dan mengembangkan implementasi kurikulum multikultural melalui metode yang
telah digunakan.Walaupun begitu, perumusan dan implementasi pendidikan
multikultural di Indonesia masih memerlukan pembahasan serius dan khusus. Hal
ini bukan hanya karena menyangkut masalah isi pendidikan multikultural itu
sendiri, tetapi juga mengenai strategi yang akan ditempuh; apakah misalnya
dalam bentuk mata pelajaran terpisah, berdiri sendiri (separated), atau
sebaliknya “terpadu” atau terintegrasi (integrated).
Terlepas dari berbagai isu dan masalah ini,
yang jelas perkembangan Indonesia sekarang kelihatannya membutuhkan pendidikan
multikultural, yang diharapkan dapat memberikan kontribusi penting bagi
pembentukan “keikaan” di tengah “kebhinnekaan” yang betul-betul aktual; tidak
hanya sekedar slogan dan jargon.Termasuk juga, pengelolaan masyarakat
multi-kultural Indonesia tidak bisa secara taken for granted atau trial
and error. Sebaliknya harus diupayakan secara sitematis, programatis,
integrated, dan berkesinambungan. Langkah yang paling strategis dalam hal ini
adalah melalui pendidikan multikultural yang diselenggarakan melalui seluruh lembaga
pendidikan, baik formal maupun nonformal dan bahkan informal dalam masyarakat
luas.https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=8629784517340498332#editor/target=post;postID=7965301431441960703